Fenomena meningkatnya jumlah ulama dari kalangan Batak Toba kini menjadi sorotan menarik di tengah transformasi sosial dan spiritual masyarakat Tapanuli. Dalam satu dekade terakhir, geliat keislaman semakin tumbuh, ditandai dengan munculnya para dai, ustaz, dan akademisi Muslim dari daerah seperti Balige, Dolok Sanggul, Samosir, hingga Tarutung.
Kondisi ini merupakan buah dari kerja keras masyarakat Islam yang bertahan sebagai Muslim meski melewati era penjajahan Belanda dan kristenisasi masif saat itu serta para mualaf yang berkomitmen terhadap dakwah serta penguatan identitas keislaman mereka. Dukungan komunitas serta organisasi seperti Jamiyah Batak Muslim Indonesia (JBMI) dan ormas lainnya juga memainkan peran penting dalam mendampingi para dai muda ini untuk tumbuh dalam jalur keilmuan.
Namun di balik semangat yang menyala, masih ada tantangan besar yang harus dijawab. Salah satunya adalah ketiadaan lembaga pendidikan tinggi Islam di kawasan Tapanuli. Di wilayah Humbang Hasundutan, Toba, Samosir, dan Tapanuli Utara, belum berdiri satu pun Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) atau perguruan tinggi Islam lainnya yang dapat menjadi basis kaderisasi ulama lokal.
Satu-satunya STAI yang dapat diakses hanya berada di Sidikalang, Kabupaten Dairi. Letaknya yang jauh dari sebagian besar daerah Batak Toba menjadi kendala tersendiri bagi calon ulama dan aktivis Muslim yang ingin menempuh studi formal. Tidak semua memiliki kemampuan ekonomi dan waktu untuk merantau demi belajar agama secara intensif.
Sebagai solusi praktis, pengembangan Madrasah Aliyah Negeri (MAN) menjadi Ma’had Aly menjadi langkah strategis dan realistis. Dua lembaga pendidikan yang memiliki potensi besar untuk transformasi ini adalah MAN Peanornor di Tapanuli Utara dan MAN Humbang Hasundutan di Dolok Sanggul. Keduanya memiliki infrastruktur dan SDM awal yang memadai untuk dirancang menjadi pusat pendidikan tinggi Islam berbasis pesantren.
Selain itu, Pesantren Al Kautsar Al Akbar di Lae Toras, Tarabintang, Humbang Hasundutan juga dapat dikembangkan menjadi Ma’had Aly dengan membuka marhalah pertama (Marhalah Ula) sesuai regulasi dari Kementerian Agama. Dengan status sebagai lembaga pendidikan tinggi formal yang sah, Ma’had Aly menjadi jembatan penting dalam mencetak ulama yang berakar dari lokalitas Batak Toba.
Kehadiran Ma’had Aly di kawasan ini tidak hanya memberi akses pendidikan lebih dekat, tapi juga menguatkan karakter ulama yang memahami kultur Batak secara mendalam. Mereka tidak sekadar menyampaikan ajaran Islam, tetapi juga menjadi agen perdamaian dan penyejuk dalam konteks masyarakat multikultural.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren dan Peraturan Menteri Agama Nomor 32 Tahun 2020, Ma’had Aly memiliki kedudukan setara dengan perguruan tinggi Islam. Lulusannya berhak menyandang gelar akademik serta mendapatkan pengakuan dalam dunia kerja, baik di pemerintahan maupun lembaga pendidikan.
Selain pendirian Ma’had Aly, metode lain yang telah banyak digunakan oleh masyarakat Muslim Batak Toba adalah kuliah jarak jauh. Melalui universitas terbuka (UT), STAI berbasis online, atau kampus luar daerah yang menyediakan sistem daring fleksibel, banyak ustaz dan aktivis Islam tetap dapat menempuh studi S1 dan S2 dari rumah.
Program ini sangat membantu bagi mereka yang juga bekerja sebagai PNS, guru, pengurus masjid, pengurus organisasi seperti MUI, NU, Muhammadiyah, Alwashliyah maupun JBMI. Dengan sistem kuliah daring yang longgar dan bersertifikasi resmi, mereka tetap bisa meningkatkan kualifikasi akademik tanpa meninggalkan tugas dakwah dan sosial di kampung halaman.
Namun demikian, perlu dukungan kebijakan dan pendanaan yang nyata untuk mempercepat pengembangan SDM keislaman ini. Pemerintah daerah, Kementerian Agama, serta ormas Islam diharapkan bersinergi memperluas akses pendidikan tinggi Islam di kawasan ini. Sebab, potensi ulama lokal sangat besar jika difasilitasi dengan baik.
Tak bisa dipungkiri, kehadiran ulama dari Batak Toba akan memperkaya khazanah keislaman nasional. Mereka membawa perspektif keagamaan yang ramah, pluralis, dan komunikatif—hasil dari interaksi lintas agama yang intens di wilayah mereka. Nilai-nilai ini penting dalam memperkuat wajah Islam Indonesia yang moderat dan damai.
Lebih dari sekadar pendakwah, ulama lokal ini juga berfungsi sebagai penjaga moral, penengah konflik, dan penggerak sosial. Mereka menjadi tokoh yang dihormati, bukan hanya di lingkungan Muslim, tetapi juga lintas komunitas etnik dan agama di Tapanuli.
Fenomena ini juga menjadi momentum untuk menyusun peta dakwah berbasis daerah yang lebih terstruktur. Dengan mendirikan Ma’had Aly dan memperluas jaringan STAI daring, transformasi keilmuan Islam di Batak Toba akan semakin matang dan berkelanjutan.
Kita perlu menyadari bahwa ulama tidak hadir secara instan. Mereka lahir dari proses panjang, pendidikan yang serius, serta dukungan masyarakat yang percaya pada pentingnya ilmu dan akhlak dalam membimbing umat. Maka, sudah saatnya kita memperkuat ekosistem pendidikan Islam di Tapanuli.
Langkah ini tak hanya untuk menjawab kebutuhan lokal, tetapi juga sebagai bentuk kontribusi Batak Toba bagi peradaban Islam Nusantara. Dengan semakin banyaknya ulama Batak Toba, wajah Islam Indonesia menjadi semakin beragam, inklusif, dan membumi.
Momentum ini harus dijaga dan diperkuat dengan roadmap pengembangan SDM Islam yang berbasis kearifan lokal. Jika dilakukan dengan konsisten dan sistematis, bukan tidak mungkin Batak Toba akan melahirkan ulama besar yang diakui secara nasional, bahkan internasional.
Dibuat oleh AI
No comments:
Post a Comment